Pandemi influenza gelombang kedua sangat mungkin terjadi dan kita harus siap menghadapinya. Kalimat bernada kekhawatiran sekaligus mengingatkan agar selalu siaga, terasa akrab di telinga belakangan ini. Mungkin kalimat itu wajar mengingat sifat virus yang senang bermutasi. Virus influenza termasuk yang paling getol melakukan mutasi secara terus menerus.
Ya, virus influenza secara alami ( by nature ) memiliki sifat berganti – ganti. Artinya, virus ini bisa bermutasi untuk menyesuaikan dengan lingkungan sehingga bisa berubah. Mutasi virus bisa berlangsung dalam skala kecil ataupun besar. Pada skala kecil, mutasi virus bisa setiap saat, sebaliknya dalam skala besar biasanya berjalan agak lama, tetapi kemungkinan bisa terjadi subtype atau strain yang baru.
Yang ditakutkan, strain baru yang dihasilkan mengadopsi sifat genetik yang jeleknya saja, misalnya menjalar dengan cepat seperti H1N1 dan mematikan seperti H5N1. Sebaliknya, jika strain baru itu mengambil sifat genetik yang baiknya saja tidak ada masalah. Kemungkinan untuk menjadi ganas atau tahan terhadap obat antivirus bisa juga terjadi karena pengendalian terhadap flu burung belum selesai.
Menurut dr. H. Hadi Jusuf, Sp.P.D.-KPTI.,dari Sub Bagian Penyakit Tropik dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Unpad/Rumah Sakit Hasan Sadikin ( RSHS), kepada “PR”, Senin (7/12), sejauh ini yang bisa dilakukan masih terbatas pada melaksanakan survailans secara virology.
Diluar negeri sampai sekarang terus dilakukan pendeteksian perubahan mutasi virus sehingga bisa terdeteksi gen yang membawa sifat berbahaya. Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO ) dan CDC bahkan memfasilitasi survey secara virology. Laporan hasil laboratorium tentang timbul strain baru atau genetiknya berubah diterima WHO, yang ditindaklanjuti dengan antisipasi.
“ Di kita juga survailans dilakukan dan yang aktif mendeteksi perubahan virus yang didapat dari hewan adalah Pak Nidom dari Universitas Airlangga Surabaya dan lembaga Eyckman. Saya tidak mengetahui secara pasti ada tidaknya mutasi virus karena yang bisa mendeteksi hal itu adalah kedua lembaga tersebut. “ ucapnya.
Litbang Kesehatan dan laboratorium di daerah, sejauh ini hanya bisa mendeteksi keberadaan virus, tidak sampai mendeteksi genetik untuk mengetahui terjadi perubahan strain baru atau tidak. Kalau hasilnya positif, untuk mengetahui ada tidaknya mutasi atau melihat struktur genetiknya, biasanya Litbangkes bekerja sama dengan Lembaga Eyckman. Hal yang sama dilakukan bila di suatu daerah tiba – tiba terjadi outbreak ( perjangkitan ).
November – Desember
Kesiagaan diperlukan selain karena alasan diatas, juga didasari kenyataan tidak ada yang bisa memprediksikan kapan terjadinya pandemic influenza. Memang berdasarkan berbagai teori yang ada, pandemic influenza diperkirakan terjadi pada musim dingin. Saat itu, penyebaran virus secara meluas lebih memungkinkan karena orang terkonsentrasi di rumah sehingga mudah terjadi penularan. Cuaca seperti itu juga membuat virus hidup lebih enak atau nyaman.
Deputi Menteri Negara Riset dan Teknologi, Prof. Amin Subandrio kepada “ PR “ di Bandung, beberapa waktu lalu mengatakan ada tiga gelombang penyebar luasan pandemic influenza A H1N1. Gelombang pertama Maret – Juni, gelombang kedua awal musim dingin, yaitu November – Desember, dan gelombang ketiga bulan Februari. “ Di Indonesia hal tersebut bisa terjadi November – Desember sebagai imbas dari peningkatan jumlah kasus yang terjadi di negara dingin, “ katanya.
Pendapat yang sama disampaikan Dr. drh. H. Heru Setijanto, PAVet ( K ), Koordinator Bidang Surveilans dan Monitoring Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza ( Komnas FBPI ), beberapa waktu lalu ketika menjadi pembicara di Redaksi Pikiran Rakyat Bandung. Heru juga menyebutkan bahwa tidak ada yang dapat meramalkan kapan pandemic terjadi, dampak pandemic juga bergantung kesiapan tiap Negara.
Faktor penentu pandemic bergantung pada timbulnay virus baru. Di saat semua orang belum mempunyai kekebalan, virus tersebut mampu berkembangbiak pada manusia dan hewan. Selain itu, virus tersebut dapat ditularkan dari manusia ke manusia secara efisien. Sementara besar kecilnya pandemic sangat bergantung pada virus, populasi tertular, dan gelombang penyebarluasan.
“ Dari segi virus perlu diketahui apakah virusnya baru atau tidak pernah bersirkulasi di manusia. Semua manusia berpotensi terinfeksi. Keganasan virus juga akan menentukan percepatan dalam penyebaran. Dari segi populasi tertular, kondisi populasi yang mempunyai penyakit kronis, seperti gangguan jantung, darah tinggi, diabetes mellitus akan menunjukkan gejala yang lebih parah. Selain itu, kondisi nutrisi populasi juga berpengaruh,” katanya.
Dari segi gelombang penyebarluasan diketahui gelombang penyebarluasan pandemic biasanya terjadi dua atau tiga gelombang dengan tingkat keganasan yang berbeda – beda. Pengalaman pandemic 1918 terjadi selama enam bulan yang dimulai kasus infeksi ringan, kemudian berubah menjadi ganas serta mematikan. Pandemic 1957 dimulai infeksi ringan, kemudian menjadi ganas, namun tidak seganas saat pandemic 1918. “ pandemic 1968 dimulai dimulai infeksi ringan, tetapi tidak menyebar luas pada gelombang pertama, kemudian infeksi ringan, tetapi tidak menyebar luas di gelombang ke dua,” ucapnya.
Sementara Hadi berpendapat ada beberapa kondisi yang menyebabkan pandemic terjadi, yaitu dari segi personal, sanitasi, virus, dan lingkungan. Dari segi personal lebih mengacu pada hygiene seseorang, misalnya kebiasaan mencuci tangan memakai sabun dan etiket batuk yang baik. “ sanitasi berhubungan dengan baik buruknya sanitasi suatu tempat. Layak diperhatikan bagaimana sanitasi rumah, pasar, atau peternakan, terutama industry ternak atau usaha ternak rumah ( back yard poultry ). Lihat pula lalulintas ternak,” tuturnya.
SULIT DICEGAH
Bila hygiene perseorangan dan sanitasi bagus, tetapi masih juga terjadi pandemic, viruslah yang memegang peranan. Artinya, mungkin ada strain baru atau ada perubahan karena mutasi, seperti influenza A H1N1 strain baru ( swine flu ) yang melanda dunia belum lama ini. Amerika Serikat dan Eropa yang sudah bagus dari segi personal dan sanitasi tetap dilanda penyakit tersebut. Dari segi lingkungan berhubungan erat dengan musim. “ Berbicara virus dan lingkungan, sulit karena virus senang mutasi, maka sulit untuk mencegahnya, begitu juga musim,” ujarnya.
Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan ( PP dan PL ) Depkes, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P. (K), MARS., DTMH., belum lama ini memberikan petunjuk sederhana melindungi diri dari tertular atau menularkan, seperti tutup mulut dan hidung bila batuk serta bersin. , cuci tangan dengan sabun dan air mengalir, jangan menggunakan barang pribadi secara bergantian, serta membersihkan permukaan barang. Bila merasa tidak enak badan jangan pergi bekerja, sekolah atau berada di keramaian, serta menghindari penggunaan sarana umum.
“Untuk menjaga kesehatan, perlu istirahat yang cukup, makan makanan yang bergizi, minum yang cukup, cukup sayur dan buah, serta berolah raga secara teratur. Jika dirumah ada yang menderita flu, penderita harus dipisahkan dari anggota keluarga lainnya dan pakailah masker. Kalau merawat yang sakit flu, gunakan masker dan sarung tangan untuk melindungi diri agar tidak tertular,” tuturnya.
Oleh : Yeni Ratnadewi
Sumber : Koran Pikiran Rakyat
Sabtu 12 desember 2009, kolom 1 halaman 17
Rina Rahayu Agustina
Sabtu, 30 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar